Kamis, 28 April 2011

CERPEN

Senyum untuk Luka Zoo
Juli, hujan datang begitu lebat. Aroma tanah tersira, sekawanan air langit tercium, angin berdesir, membuat tak seorangpun beranjak keluar rumah. Pun untuk bermain hujan.
“malam, Mbak, Dokter sehan ada?”
“apa pernah berobat sebelumnya?”
“Sudah, atas nama Dimas.”
“Tunggu sebentar ya!”
                Lalu wanita berbaju serba putih itu mencari Dimas di layar computer. Aku duduk pasrah diantara deretan kursi ruang  tunggu di  RSUD  Cilegon. Teringat bagaimana pertama kali Dimas memperlihatkan benjolan menyerupai kelereng di salah satu lengannya.
                “Lihat Zee, dia muncul lagi.”
                “Astagfirullah. Kita harus segera ke dokter, Dimas!”
                “Nggak usah, nggak sakit kok Zee. Lucu ya, tanganku jadi ada variasinya.”
                Aku paling sebal jika Dimas menggampangkan masalah, termasuk penyakitnya. Awalnya benjolan itu hanya satu, lalu banyak. Secara medis, harapan Dimas untuk sembuh sangat besar. Kalau pun oprasi, hanyalah oprasi kecil. Apalagi Dimas sosok mandiri. Baginya anti menyusahkan orang lain,termasuk aku, kekasihnya. Setelah mengikuti diskusi yang cukup alot, Dimas setuju memeriksakan kembali benjolannya.
                “Ada, Mbak. Dimas Prasetyo.” Suara suster mengagetkanku.
                “Iya, benar.”
                “Silahkan duduk Mbak.”
                Aku berjalan menghampiri Dimas dan duduk disampingnya sambil menunggu namanya dipanggil.
                “Pokoknya kamu harus sembuh, Dim,” gumamku dalam hati. Aku optimis akan kesembuhan Dimas, bukankah tuhan selalu memberikan cobaan yang masih dalam batas kemampuan umatnya.
                “Dimas Prasetyo.”
                Akhirnya nama itu dipanggil. Kami bergegas menuju ruang pemeriksaan, bertemu dokter Sehan. Aku melihat betapa telitinya dokter itu mengecak lembar demi lembar kertas berwarna kuning berisi refrensi penyakit Dimas.
                “bagaimana, sudah dioperasi belum lipomnya?”
                “Belum dok, sekarang malah benjolannya semakin banyak,”
Jawabku.
                “Satu-satunya jalan memang harus operasi. Sebentar kok, setengah jam juga selesai.”
                Sudah kuatkan aku menerima semua cobaan ini. Ya Tuhan belum cukupkah Engkau membuat orang Tua Dimas membenciku. Kini, Engkau tambahkan lagi cobaan hidupku dengan memberikan sakit pada orang yang hamba cintai.
                Beberapa hari berlalu, aku hanya mengurung diri dalam kamar. Rasanya aku ingin mati saja, aku tak sanggup apa bila harus berterus terang kepada kedua orangtuaku, tentang apa yang menimpa putri semata wayangnya ini. Air mataku bergulir lagi. Kepedihanku memucak hingga ubun-ubun. Aku kasihan pada mereka, mereka terlalu berharap dengan hubunganku dan Dimas.
                Aku membuka pintu kamar. Seharian dikamar, tidak membuat masalahku berkurang. Aku berjalan keluar rumah sengaja mencari angin besar. Kunikmati nyanyian merdu kawanan burung gereja,mereka tampak terbang bebas tanpa beban.
                Ini hari ketigaku aku menikmati kesendirian menyambut mentari. Hari pertama aku menyambut sang surya dengan kepanikan karena telepon selular Dimas tidak aktif. Meskipun sang surya tetap bertahan dengan senyumnya dan mencoba menghiburku, namu tetap saja aku masih sendiri tidak bersama Dimas. Hari ini, sahabatku bertambah. Selain sang surya, sekawanan burung gereja pun turut menghibur laraku. Namun, lagi-lagi, tidak untuk Dimas. Ia hilang bak ditelan bumi. Dimas menggantungkan cintaku.
                Akhirnya semuanya membawaku kembali ke peristiwa itu. Saat Dimas mengajukan dua pilihan untukku. Pertama, tidak ada operasi. Kedua, ada operasi namun aku tidak diperkenankan mendampinginya.
                “ Aku hanya ingin kamu, Zee. Aku nggak mau dengar kamu merengek lagi, meminta agar lipomku segera dioperasi. Titik !”
Alangkah cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru saja kemarin aku menghabiskan waktu berdua bersama Dimas. Ini terlalu cepat, Tuhan tidak memberiku waktu untuk mempersiapkan hatiku agar kuat menerima pukulan pahit ini. “ Aku belum siap untuk kehilanganmu, Dim.”
                Sepertinya berita yang aku dengar mengenai perubahan cuaca secara mendadak yang terjadi dikota Cilegon, menurut Badan Meteorologi (BMG) benar adanya. Aku menyaksikan surya kalah dalam pertahanannya, gumpalan awan hitam akan segera memuntahkan semua cairan didalamnya. Nampaknya, aku benar – benar bersahabat dengan sang surya, meskipun ia kalah, ia tetap ia tetap memberiakn senyum terakhirnya untukku. Aku pun mengikuti kepergian sang surya dengan berlari. Sayangnya, aku kalah dalam pertahananku. Cairan awan hitam itu mengenai tubuhku secara perlahan.
                Aku terus berlari dan berlari. Nampaknya hal itu sia-sia bagiku. Kembali aku segera berlari. Sekuat mungkin aku terus berlari dengan kecepatan seluruh kakiku. Lagi-lagi, sia-sia. Tenaga ini aku buang percuma, aku kalah cepat dengan percikan muntahan awan hitam. Akhirnya, aku pasrah. Aku membiarkan air hujan untuk menjamahku, tanpa sisa. Ritme hentakan kakiku melambat.
                Kini, aku berjalan menuju  rumahku didaerah Kapling. Setibanya dirumah, aku tersentak dengan sosok yang berdiri tepat didepan rumahku. Perlahan, aku mendekati sosoknya. Hujan yang begitu lebat mengaburkan penglihatanku. Dalam desiran air yang bergerumuh, samar-samar aku mulai mengenalinya. Nafasku terengah-engah. Aku masih tak menyangka, benarkah itu Dimas?
                “Ini aku, Zee. Dimas.” Segera Dimas memelukku.
                Air mataku jatuh, bersaing dengan derasnya air hujan. Pelukan Dimas begitu erat. Sekian lama, tak pernah aku merasakan pelukan sayang Dimas. Ternyata Dimas tak pernah meninggalkanku. Setelah cukup lama aku mengharapkannya, tiba-tiba Dimas muncul dihadapanku. Keingintahuanku tentang hilangnya Dimas selama ini membawa kami segera meninggalkan derasnya air hujan. Kami menuju dalam rumah.
                Tak lama aku membawa handuk dan segelas teh hangat. Sambil menikmati teh buatanku, aku mendengarkan cerita Dimas dengan sangat hati-hati. Aku miris. Kuraba kedua lengan Dimas, Nampak benjolan lipomnya berubah menjadi jelujur benang yang cantik. Aku menunduk, entah mengapa aku merasakan kegalauan yang amat sangat. Bukankah seharusnya aku menjadi orang yang paling bahagia karena Dimas kembali dan melakukan operasi. Semuanya berjalan lancer untuk Dimas, bukan untukku.
                Dimas sengaja melakukan semuanya itu  tanpa memberitahuku. Kini aku hanya bisa pasrah dalam menghadapi kekerasan hati orangtua Dimas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar